Tak pernah ku bayangkan sebelumnya hidupku akan
berubah sejauh ini. Semuanya berawal dari sebuah pertemuan singkat yang membuatku
tak akan pernah mengerti bagaimana itu terjadi. Sebuah perasaan aneh terus
menghantuiku. Rambut pirangnya yang ikal terurai, sorot bola mata yang seakan
penuh harap, senyum dari bibir mungilnya yang seakan menjerat siapa pun yang
melihatnya. Aku tak dapat menggambarkan lebih dalam lagi, ia sangat misterius.
Hari itu adalah hari peringatan kematian keluargaku
namun tak sedikit pun kesedihan muncul dalam raut wajahku. Dengan membawa
seikat bunga, aku berjalan dengan malasnya ke pemakaman. Aku berdiri termenung
menatap jajaran batu nisan keluargaku. Aku berjalan dan meletakkan seikat bunga
di atas batu nisannya. Aku masih tak dapat memaafkan mereka. Bagaimana bisa
mereka meninggalkan aku untuk berlibur ke Los Angeles, tetapi sekarang mereka
tak akan pernah kembali. Tanpa pikir panjang aku berjalan meningggalkan nisan
keluarga itu.
Ketika aku berjalan pergi, aku berpapasan dengan
seorang wanita. Ia berjalan sambil memeluk seikat bunga mawar merah yang mulai
menghitam. Tatapan matanya memandang kosong ke segala arah. Aku tak tahu siapa
dia, tapi dia telah membuatku terus terpaku memandangnya. Ia terus berjalan
melewati nisan-nisan lainya. Gadis itu lalu duduk mematung di depan sebuah batu
nisan. Ia mengusapnya dan memandang dengan tatapan kosong seakan memikirkan
sesuatu. Aku terus mengamatinya dari kejauhan. Kemudian aku lihat dia
mengeluarkan benda kecil dan mengarahkannya pada tangannya. Ia terus menangis
di situ dan mendekatkan benda kecil itu ke tangannya. Sepertinya ia ingin
mengakhiri hidupnya. Tanpa pikir panjang aku berlari dan mencegahnya.
Dengan air mata yang masih membasahi pipinya, ia
menatap mataku. Dengan tatapan nanar dari matanya yang seolah memendam
kesedihan seumur hidupnya. Aku menarik tangannya dan membantunya berdiri, tapi
ia tidak menerima bantuanku. Ia berdiri dan berjalan meninggalkanku sambil
memeluk lagi seikat bunga mawar itu. Ada apa dengan gadis itu?
Suatu sore aku berjalan menuju taman, saat itu sedang
musim gugur jadi ku putuskan menghabiskan waktu ku di situ. Ketika sedang asiknya
membaca buku sambil mendengarkan musik di bawah pohon, aku melihat gadis yang
beberapa hari lalu aku lihat di pemakaman. Aku bangkit dan berlari mengejar
gadis itu. Gadis itu menghilang, kemana dia. Aku terus mencarinya. “Itu dia”
kataku.
Ia duduk di sebuah kursi kayu panjang dengan mata terpejam. Angin sore berhembus menerpa wajahnya, cantik sekali. Secepat kilat aku menegeluarkan ponselku dan memotretnya. Aku berjalan dan mendekatinya.
“Hai aku Davis, kamu siapa?”
Ia lalu terbangun dari lamunananya dan menatapku dengan muka yang memerah padam. Sepertinya aku telah mengganggu waktu bersantainya. Ia hanya terdiam dan berlalu dariku. Ia seakan-akan tidak ingin berada di dekatku. Baiklah mungkin ia sedang bad mood.
Ia duduk di sebuah kursi kayu panjang dengan mata terpejam. Angin sore berhembus menerpa wajahnya, cantik sekali. Secepat kilat aku menegeluarkan ponselku dan memotretnya. Aku berjalan dan mendekatinya.
“Hai aku Davis, kamu siapa?”
Ia lalu terbangun dari lamunananya dan menatapku dengan muka yang memerah padam. Sepertinya aku telah mengganggu waktu bersantainya. Ia hanya terdiam dan berlalu dariku. Ia seakan-akan tidak ingin berada di dekatku. Baiklah mungkin ia sedang bad mood.
Karena sepanjang bulan ini masih musim gugur, tiada
salahnya jika aku menghabiskan setiap sore untuk keluar rumah. Aku keluar dan
menuju ke dalam mobil. Cuaca sore ini sangat indah, aku pergi menuju ke kedai
teh yang tak jauh dari pusat keramaian taman kota. Aroma tehnya benar-benar
membuat pikiranku tenang. Ketika meminum teh sambil menikmati suasana sore kota
Paris, aku melihat gadis itu lagi. Aku berlari keluar dari tempat itu.
“Hei anak muda, kau belum membayarnya!” teriak si pemilik kedai teh.
“Uangnya aku tinggalkan di atas meja!”
“Hei anak muda, kau belum membayarnya!” teriak si pemilik kedai teh.
“Uangnya aku tinggalkan di atas meja!”
Aku berlari mengejar gadis misterius itu. Aneh sekali,
aku selalu tak pernah dapat menemukannya. Aku bergegas masuk ke mobilku. Aku
harus mengejarnya, ia pasti belum pergi jauh. Aku terus mengemudikan mobilku
menyusuri kota. Sepertinya sengatan matahari sore musim semi telah membuat
bajuku basah oleh keringat. Ketika hendak pulang aku melihat gadis itu tengah
berjalan di kerumunan orang. Lagi-lagi aku berlari mengejarnya dan melewati
kerumunan orang banyak yang tengah menghabiskan waktu sorenya di kota.
“Permisi..”
“Oh maaf telah menabrakmu”
“Permisi, biarkan aku lewat”
“Permisi..”
“Oh maaf telah menabrakmu”
“Permisi, biarkan aku lewat”
Karena berlari di tengah kerumunan orang, lari ku
terhambat. Sial, aku kehilangan dia lagi. Sebuah benda berwarna pink tergeletak
di jalan. Aku memungutnya dan membukanya perlahan. Bertapa terkejutnya diriku
melihat bahawa pemiliknya adalah gadis itu. Tadinya aku berniat menyerahkannya
ke kantor polisi, tetapi mungkin benda itu dapat membantuku jadi tidak akan aku
serahkan. Sesampainya di apartement aku lalu mandi untuk menyegarkan badanku
setelah kejadian sore tadi.
Setelah menyantap makan malam, aku duduk di depan TV yang menyala sambil membuka isi dompet itu.
“Mectha?”
“Mectha Rosiene, pernah kuliah di Sorbonne University”
Setelah menyantap makan malam, aku duduk di depan TV yang menyala sambil membuka isi dompet itu.
“Mectha?”
“Mectha Rosiene, pernah kuliah di Sorbonne University”
Mungkin aku bisa mengenalnya lewat situs network.
Kuambil laptop dari kamarku dan duduk lagi di depan TV. Mectha Rosiene. Nihil,
tak ada satu pun accountnya di situs pertemanan. Semalaman itu aku masih terus
mencari dan berharap mungkin aku bisa menemukannya. Aku tidak menyadari bahwa
aku tertidur di depan TV hingga pagi. Ketika melihat ke arah jam dinding,
bertapa kagetnya aku saat itu. Kacau kelas dimulai lima menit lagi. Dengan
segera aku mengambil tasku dan menuju ke mobil. Untunglah aku tidak terlambat.
Seusai pelajaran aku menghampiri Nick, dia adalah sahabat baikku.
“Hei bro, how are you?”
“Fine” kataku.
“Nick, aku ingin menyanyakan sesuatu padamu”
“Tentang Kanya?”
“Ini bukan soal Kanya. Ini soal Mechtha Rosiene, apa kau kenal dia. Kudengar dulu dia sempat kuliah di sini”
“Mectha Rosiene?. Dulu memang pernah kuliah di sini, tapi setelah kematian kekasihnya dia keluar dari tempat ini”
“Oh jadi begitu”
“Hei bro, how are you?”
“Fine” kataku.
“Nick, aku ingin menyanyakan sesuatu padamu”
“Tentang Kanya?”
“Ini bukan soal Kanya. Ini soal Mechtha Rosiene, apa kau kenal dia. Kudengar dulu dia sempat kuliah di sini”
“Mectha Rosiene?. Dulu memang pernah kuliah di sini, tapi setelah kematian kekasihnya dia keluar dari tempat ini”
“Oh jadi begitu”
Hanya sebatas itu yang aku tahu, harus mencari tahu
lebih dalam lagi. Kuputuskan sore itu akan ke pemakaman, aku harus tahu siapa
nama yang dulunya menjadi kekasih Mectha. Mudah saja aku menemukannya, akan
tetapi ada yang aneh. Sepertinya gadis itu baru saja meninggalkan makam ini, ia
meletakkan bunga mawar yang kehitaman di atas batu nisan Joana Ricky. Aku
mengelilingi tempat itu, mungkin ia masih ada di tempat ini. Lagi-lagi, cepat
sekali dia pergi meninggakanku. Ia seakan tidak ingin jika aku terus
mendekatinya, memangnya apa yang salah denganku. Aku baru ingat, dompetnya
mungkin bisa memancingnya kembali.
“Mectha, benda berwarna pink ini milikmu bukan” aku berteriak.
“Bisakah kau serahkan itu dan pergi dariku sekarang” katanya tiba-tiba.
“Tidak, sebelum kau tunjukan padaku siapa dirimu sebenarnya!”
“Mectha, benda berwarna pink ini milikmu bukan” aku berteriak.
“Bisakah kau serahkan itu dan pergi dariku sekarang” katanya tiba-tiba.
“Tidak, sebelum kau tunjukan padaku siapa dirimu sebenarnya!”
Hebat, caraku berjalan dengan baik. Dia benar-benar
menampakkan dirinya secara langsung di depanku. Sekarang aku bisa melihatnya
dari dekat. Dia sama seperti yang aku lihat sore itu ketika sedang duduk di
taman. Cantik sekali dengan rambut ikal yang terurai, kulit yang putih mulus
bak porselen.
“Serahkan itu!”
Aku mengulurkan dompet itu di tanganku. Ketika ia akan mengambilnya dariku, secepat kilat aku menarik tanganya. Aku akan membawanya ke taman ketika aku melihatnya sore itu duduk di bangku taman.
“Katakan siapa dirimu sebenarnya”
“Pergi dan menjauh dariku atau kau akan mati bersamaku”
“Apa maksudmu aku akan mati”
“Aku bermimpi semua yang akan terjadi dalam hidupku, semua orang yang ada di dekatku”
“Maksudmu de javu?”
“Jadi sebaiknya kau tinggalkan aku jika tidak ingin mati bersamaku. Aku tak mau lagi ada orang yang ditakdirkan akan mati bersamaku. Aku tak mau kau seperti Joana, ia mati karena salahku. Seharusnya aku katakan kepadanya dari awal bahwa ia akan mati jika bersamaku.”
Ia menangis, raut mukanya dibasahi oleh air mata. Sepertinya ia memang benar-benar menanggung beban dan rasa bersalah yang sangat besar. Aku menghargai maksudnya. Aku tidak akan lagi mengganggunya.
“Serahkan itu!”
Aku mengulurkan dompet itu di tanganku. Ketika ia akan mengambilnya dariku, secepat kilat aku menarik tanganya. Aku akan membawanya ke taman ketika aku melihatnya sore itu duduk di bangku taman.
“Katakan siapa dirimu sebenarnya”
“Pergi dan menjauh dariku atau kau akan mati bersamaku”
“Apa maksudmu aku akan mati”
“Aku bermimpi semua yang akan terjadi dalam hidupku, semua orang yang ada di dekatku”
“Maksudmu de javu?”
“Jadi sebaiknya kau tinggalkan aku jika tidak ingin mati bersamaku. Aku tak mau lagi ada orang yang ditakdirkan akan mati bersamaku. Aku tak mau kau seperti Joana, ia mati karena salahku. Seharusnya aku katakan kepadanya dari awal bahwa ia akan mati jika bersamaku.”
Ia menangis, raut mukanya dibasahi oleh air mata. Sepertinya ia memang benar-benar menanggung beban dan rasa bersalah yang sangat besar. Aku menghargai maksudnya. Aku tidak akan lagi mengganggunya.
Ketika di malam musim dingin, aku pergi ke luar untuk
makan ke luar bersama teman-temanku. Kami pergi ke pusat kota. Perlahan mulai
melupakan kejadian ketika aku bertemu dengan gadis itu dengan bersenang-senang.
Tetapi mungkin aku telah ditakdirkan untuk menjadi penyelamatnya ketika maut
akan datang padanya. Di tengah acara makan malam, aku pergi untuk keluar
sebentar. Ketika aku melihat gadis itu berjalan sendirian pada saat lampu
merah, aku membuang pandanganku darinya. Lampu berubah menjadi hijau ketika ia
masih berjalan di tengah jalan raya. Aku berlari ke arahnya dan menarik
tanganya. Ia jatuh tepat ke pelukanku, nyaris saja akan mati.
“Kenapa kau muncul lagi, bukankah sudah kukatakan kau pasti akan mati jika bersamaku. Kau nyaris mati tertabrak tadi” katanya sambil menangis.
“Aku tak tahu apa yang membuatku terus berbuat seperti ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku membawaku. Mungkin aku ditakdirkan untuk menjadi malikat penyelamatmu”
“Ikut aku” kataku sambil berlari menarik tanganya.
“Kita akan kemana?”
“Sudah ikut saja”
“Kenapa kau muncul lagi, bukankah sudah kukatakan kau pasti akan mati jika bersamaku. Kau nyaris mati tertabrak tadi” katanya sambil menangis.
“Aku tak tahu apa yang membuatku terus berbuat seperti ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku membawaku. Mungkin aku ditakdirkan untuk menjadi malikat penyelamatmu”
“Ikut aku” kataku sambil berlari menarik tanganya.
“Kita akan kemana?”
“Sudah ikut saja”
Aku membawanya ke tempat pusat perbelanjaan berbagai
mode pakaian di Paris. Aku berjalan melewati sederet pakaian-pakaian mewah
berlabel ternama dan menuju ke tempat pajangan koleksi topi mewah. Aku
mengambil salah satu topi berwarna pink berbahan wool. Setelah membayarnya, aku
lalu memakaikanya ke kepalanya.
“Pakai itu. Kau tampak cantik jika memakainya. Beberapa hari yang lalu ketika kita bertemu, aku melihat topi ini di etalase toko. Kupikir ini cocok jika untukmu ternyata benar”
“Mengapa, kau lakukan semua ini untukku?”
“Anggap saja ini hadiah dari malaikat penjagamu”
“Pakai itu. Kau tampak cantik jika memakainya. Beberapa hari yang lalu ketika kita bertemu, aku melihat topi ini di etalase toko. Kupikir ini cocok jika untukmu ternyata benar”
“Mengapa, kau lakukan semua ini untukku?”
“Anggap saja ini hadiah dari malaikat penjagamu”
Saat ini tugasku adalah untuk menjaganya. Aku harus
menjaga Mectha. Karena aku telah ditakdirkan untuk bersamanya dan melidunginya.
Cerpen Karangan: Birgita Feva Nurregina
Facebook: Birgita Feva
Facebook: Birgita Feva