Di bawah hujan aku terdiam, tak kurasakan butiran air yang menerpaku. Tak kurasakan dingin yang menyelimutiku, dan tak kudengar gemercik air yang jatuh.
Datangnya hujan tak mengusik lamunanku. Sudah 2 jam aku terduduk di halaman belakang rumah, di bawah pohon rambutan. Aku kira, baru seminggu yang lalu aku bersama seseorang yang selalu ada untukku dan yang selalu menemaniku saat tak ada yang bersedia. Tapi sekarang semuanya sudah berubah. Dia sudah tak ada lagi di sisiku. Dan aku tak bisa melihatnya. Masih terngiang kata-katanya yang terakhir keluar dari mulutnya sepulang sekolah tempo lalu.
“Lupakan aku..” katanya.
“Kenapa Tih? Apa salahku?”
“Kamu nggak salah, justru aku yang salah. Salahku udah mencampuri kehidupanmu.”
“Tapi, kenapa hal itu jadi salah?” aku mencoba meminta penjelasan yang lebih bisa ku mengerti.
“Kita ini sahabat, dan kita hampir melampaui hubungan itu. Aku nggak mau jadi yang lebih buatmu. Aku udah cukup senang jadi sahabatmu. Dan aku juga nggak mau nyakitin perasaanmu. Selama ini aku ngerasa udah bikin kamu marah ke aku, itu pun karena sikapku. Aku nggak mau nyakitin perasaanmu lagi, kamu ngerti kan? Itulah yang menyebabkannya jadi salah.. maafin aku..”
Sakit hatiku mendengarnya. Tapi hal itu benar juga. Aku memang sering sakit hati olehnya. Dan hal itu nggak masalah buatku. Selama aku bisa komunikasi dengannya, aku nggak masalah berapa kali perasaanku terluka. Yang terpenting bagiku, dia ada buatku.
“Zal..” dia memanggil namaku. “Kamu nggak apa-apa?” sepertinya dia cemas melihatku yang terdiam.
“Udahlah, aku mau pulang. Terserahmu mau gimana. Kalau itu buat kamu senang, it’s okay.”
“Faizal!! Kamu nggak apa-apa kan?”
“Aku nggak apa-apa. Jaga dirimu.” jawabku datar.
“Yakin kamu nggak apa-apa?” pertanyaannya itu kujawab dengan lambaian tangan sambil berlalu. Terlalu pedih untukku menjawabnya.
Aku sayang kamu, dan kamu sayang aku. Kita berdua akan jadi sahabat selamanya. Kata-kata itu terus terngiang di benakku. Tapi apakah ini yang namanya sahabat? Meninggalkan sahabatnya seorang diri? Atau mungkin aku yang salah? Atau mungkin aku yang terlalu menganggapnya lebih?
Sejak itu, perlahan komunikasiku dengannya terputus. Aku hanya bertemu di sekolah. Tapi dia selalu saja menghindar tiap kali bertemu denganku. Aku tak mengerti kenapa dia sampai seperti ini. Yang aku tahu, sekarang dia sudah pergi. Bukan lagi dia yang dulu. Bukan lagi dia yang selalu ada buatku.
“Hai Zal! Siang-siang malah ngelamun.. di perpus lagi..”
“Oh kamu Gas, ngagetin aku aja..” ternyata Bagas, teman Ratih yang menyapaku.
“Hah? Ngagetin kamu? Dari tadi aku juga di depanmu kok.. kamu aja yang ngelamun.”
“Apa iya? Haha, maaf aku tak merasakan kehadiranmu..”
“Emangnya aku setan!!?”
“Lah kamu setan bukan?”
“Bukan.”
“Ya udah, jangan ngerasa. Hahahahah…”
“Sialan kau!! Oh iya, gimana kabarmu sama Ratih?”
“Jangan bahas dia di depanku.”
“Loh kenapa? Dia istrimu kan? Hahaha..”
“Mungkin, dulu iya. Tapi sekarang udah nggak.”
“Kenapa? Ada masalah?”
“Tanya sendiri sama dia! Aku males bahas dia! PUAS!?”
“Slow loh bung… kamu kalau marah ya boleh aja, tapi tolong dikontrol.. ya udah kalau kamu lagi pengin sendirian. Aku balik kelas dulu ya! Udah ada bu Malika.”
“Oh iya. Siap-siap adrenalinmu dipacu ya.. hahaha.” tapi Bagas sudah pergi, dan entah kenapa aku belum mau masuk ke kelas. Aku hanya terpaku di perpustakaan. Tempat favorit keduaku setelah kantin. Berdiam di pojokan sambil memegang novel Agatha Christie. Hanya memegang. Pikiranku entah kemana. Bahkan aku tak bisa memegang pikiranku sendiri.
—
Itu ingatanku yang dulu, sekarang sudah jauh berbeda. Saat dia berkata begitu, hujan turun seolah menggambarkan perasaanku saat itu. Dan kini, saat kucoba tuk mengingatnya lagi, hujan kembali turun. Aku tak merasakan dinginnya, tak menggigil karenanya, tapi terasa hangat menyentuh kulitku.
Sejenak aku tersenyum membayangkan, apakah hujan mengerti perasaanku? Seandainya ia punya kemampuan untuk bicara, mungkinkah ia akan menghiburku? Bagaimana suaranya? Ataukah sekarang ia sedang berusaha menghiburku dengan memberiku kehangatan hujan?
Semakin lama aku coba untuk melupakannya, membuangnya dari ingatanku, semakin aku tak bisa. Aku tak tahu apa yang aku pikirkan. Dan aku tak bisa mengosongkan pikiranku. Ratih, Ratih, Ratih dan Ratih. Hanya nama itu yang terlintas dan berhenti di kepalaku.
Mungkinkah aku merindukannya? Tapi sepertinya dia tak merindukanku. Terbukti dari seminggu yang lalu, handphone ku sama sekali tak bertuliskan namanya. Biasanya, dia selalu menghubungiku. Entah itu menanyakan kabar, menanyakan aktifitasku, atau hanya sekedar membuang bonusan. Tapi sekarang ku matikan. Dan aku tak berniat menyentuhnya.
Apa yang aku lakukan? Harusnya aku nggak kayak gini. Nggak masalah kalau dia jauhi aku. Tapi se-nggaknya, aku nggak njauhi dia! Aku nggak mau balas dendam cuma karena masalah kayak gini! Aku harus hubungi dia. Sekarang!!
Aku bangkit dari dudukku. Hujan sudah agak reda. Cepat-cepat aku meraih handphone-ku yang 3 hari ini tergeletak sendirian di laci lemariku. Aku nyalakan dan tak kusangka, ada puluhan sms dari Ratih yang masuk sekitar 1 jam yang lalu. Semua isinya menanyakan kabarku, dan permintaan maafnya.
Tanpa membuang waktu lagi, aku telpon dia.
5 menit berlalu dan tidak ada jawaban darinya. Atau mungkin dia marah? Pikirku. Akhirnya setelah 30 menit menunggu, terdengar jawaban juga..
Halo? Ratihnya ada?
Ya saya sendiri. Siapa ya?
Temenmu..
Ya siapa?
Faizal. Hehehe, gimana kabar Tih?
Mulai dari situ, aku mencoba untuk memperbaiki hubunganku dengannya. Aku minta maaf padanya, dia juga minta maaf padaku. Sangat lama kami berbicara. Menceritakan hal-hal yang lucu, tertawa bersama, dan mengenang masa lalu. Dalam hati aku berpikir…
Aku nggak mau hubungan kita lebih dari ini. Sebatas ini saja sudah cukup bagiku. Meskipun kita nggak pacaran, tapi kita ini sahabat. Dan kata “sahabat” berlaku selamanya. Mungkin kalau dulu kita pacaran, kita nggak bisa kelihatan kaya berteman. Tapi kalau kita berteman, mungkin kita bisa keliatan kaya pacaran.
Saat itu aku melihat keluar. Hujan sudah berhenti. Matahari bersinar dengan terang. Di langit terlihat pelangi. Agaknya, hujan mengerti perasaanku.
Cerpen Karangan: Ruci Indra
Facebook: Ruci Indra Jhaladri